Ilustrasi
Juli lalu genap 32 tahun orangtua saya menjalani pernikahan
mereka. Tiga dekade lewat dua tahun lamanya.
A fantastic number I believe.
Tiap tahun angka itu bertambah, tiap tahun pula saya mencoba
mencerna rahasia apa yang mereka pakai untuk tetap memertahankan perasaan
bernama cinta.
Please darling, to open your eyes and find the same
person besides you every single day is not an easy thing to do! And to maintain
the flame for the rest of your life is another big homework to complete.
Mereka hidup layaknya pasangan konvensional lainnya. Rapi,
teratur dan bersahaja. Jika teman-teman pria saya mengeluhkan kekhawatiran
mereka akan kata “pernikahan”, maka ayah saya mantap berkata, “the best
thing I ever did in my life was married to your mother.” Dan adakah jawaban
yang lebih baik lagi dari itu?
The Bed Side Story
Masalahnya, tidak semua orang diberkahi anugerah itu. Pria,
kebanyakan makhluk super selektif, melebihi kaum perempuan. Wanita bisa membeli
dua pasang sepatu Christian Louboutin yang sama model beda warna
tanpa berpikir panjang. Sementara laki-laki akan berpikir dua kali untuk
mengganti sepatu butut mereka bahkan dengan sepasang Tom Ford Midnight
Blue Warwick Suede.
Now you see the different, dear
Seorang teman berkata bahwa ia menunggu kesiapan mentalnya
untuk menjalani pernikahan. Entah siapa yang memulai, indikasi kesiapan mental
ini ditandai dengan penerimaan tulus mereka melihat wajah polos sang perempuan
kala pertama kali bangun dari tidur—cetakan bantal pada pipi, rambut kusut,
tanpa make up, dan pastinya, tanpa bantuan si pensil alis ajaib! Ketika seorang
pria merasa siap secara batin bangun di sisi perempuan yang sama sepanjang
hidupnya, maka bisa dibilang ia telah menemukan sosok yang tepat untuk dinikahi.
Pertanda ini sebenarnya tak melulu salah. Tempat tidur
sejatinya jadi analogi kebersamaan, untuk pasangan manapun itu. Maka jika
pondasi kesiapan mental itu dibangun di atasnya, secara logika sebuah piramida
yang terbentuk dari rasa percaya dan elemen nyaman telah berdiri pada lantai
paling dasar. Di tempat tidurlah semua hal terkuak polos tanpa sekat. Adalah
hal yang wajar apabila kepolosan tanpa tudung ini kemudian diartikan sebagai
penerimaan total kepada si pasangan.
It’s all about the money
Terlahir sebagai pria sudah menjadi suatu dilema tersendiri
dalam kehidupan seseorang. Itu berarti ada fase tanggung jawab yang harus anda
lewati, bahkan melebihi kaum wanita itu sendiri. It’s not a gender thing,
okay!
Saya rasa sudah tidak jamannya lagi membicarakan kesetaraan
di sini. Itu sama saja seperti PETA yang terus mem-ban orang-orang karena
mereka menggunakan kulit buaya sebagai fashion item.
Please honey, every body knows animals are used only for
fashion and plants totally exist for eats…
Kembali ke soal tanggung jawab tadi. Jika secara moril anda
telah menyiapkan diri dengan ketebalan mental yang ada, maka materil adalah
soal lain yang kini menghadang. Kesiapan mental tidak akan berarti apa-apa
tanpa adanya ketersediaan materi yang memadai. Ini (mungkin) termasuk pekerjaan
yang mapan, gaji mencukupi, kendaraan pribadi, serta (paling tidak) kredit
rumah yang sudah disetujui oleh bank.
Ingat, wanita kini tidak lagi berada di zaman Siti Nurbaya
yang bisa hidup hanya bermodalkan cinta. Empat sehat lima sempurna itu tidak
bisa dibeli dengan lembaran cinta atau koin asmara. Dan gaun rancangan Marc
Jacobs impian pasangan anda itu, tidak akan dapat dikenakan hanya dengan tiga
kata ajaib “I love you” saja. Lagi pula pada akhirnya toh Siti Nurbaya menikahi
Datuk Maringgi ketimbang Samsyul Bahri. Why? It’s all about the money of
course!
Datuk Maringgih sanggup memberikan penghidupan yang lebih
layak dibandingkan pesaingnya itu. As simple as that!
Selain sebagai mahluk egosentrik, pria ingin dikenal sebagai
mahluk yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Tanggung jawab di sini
berarti mampu memberikan penghidupan yang layak bagi istri dan anak-anaknya
kelak, termasuk makan tiga kali sehari,
Shopping tiap akhir pekan, membelikan berlian impian,
serta berlibur sebulan sekali paling tidak ke Bali, atau Maroko?
Semua tentu membutuhkan effort tinggi dan biaya yang
tidak sedikit jumlahnya. Maka sebenarnya tidak ada yang salah jika barometer
anda menilai kesiapan menikah justru dari sudut pandang finansial. Pernikahan
yang nantinya dijalani dengan menghadirkan 3000 undangan tak dikenal itu
pastinya menghabiskan jumlah uang yang banyak. Dan itu bisa jadi menguras semua
tabungan yang ada.
Percayalah, apa yang anda lakukan itu, selain karena faktor
tuntutan mertua dan gengsi, adalah untuk membahagiakan sang pasangan.
Ketahuilah bahwa dibalik pernyataan wanita “Nggak papa kok sayang, kita nikah
sederhana saja di rumah, ngundang temen-temen deket sama keluarga,” tersembunyi
pesan
“if you want to marry me, you have to give me some money!”
The Ego dan The Magic 30
Fakta menarik yang bisa dilihat adalah kepercayaan para
lelaki pada angka 30. Angka itu secara ajaib menyumbangkan banyak keberanian
pada pria untuk memulai kehidupan bernama pernikahan bersama sang pasangan. Apa
lacur, mereka percaya bahwasanya di usia itu kesiapan mental dan material telah
terbangun secara sempurna untuk menghadapi gerbang baru kehidupan. Tak sepenuhnya
salah meski tak semuanya patut dibenarkan.
Dua atau tiga dekade lalu menikah di usia 30 masuk kategori
‘bermasalah’ di mata para orang tua. Maka, usia menikah datang pada angka yang
relatif muda untuk ukuran saat ini; 18-25 tahun. Lebih dari itu sudah terhitung
produk kadaluarsa. Untungnya, pola pikir berubah seiring lajunya zaman. Angka
itu merangkak naik ke angka 27, 29, hingga menyentuh nominal 35. Bagi pria,
kematangan usia biasanya dibarengi dengan kemapanan dari segi karir dan
kemantapan emosi.
The older, the better!
Sayangnya, ini tidak terjadi pada wanita. Jam biologis yang
terus berdetak tak jarang membuahkan kelabilan emosi dan kekhawatiran tidak
dapat menghasilkan keturunan tepat pada waktunya. Harap diingat kita masih
tinggal di yang tingkat campur tangan keluarga masih tinggi.
Jangan salahkan banyak wanita yang takut dengan cap
kampungan perawan tua atau telat nikah. Yang terjadi adalah tidak adanya titik
temu antara pemikiran patriarki dan wanita tentang kapan waktu yang tepat untuk
menikah. Meski dengan pemikiran modern banyak wanita yang tak lagi
mempermasalahkan hal ini, tekanan kanan-kiri bisa jadi sesuatu yang memperburuk
keadaan.
Jika ini yang terjadi, berikanlah pengertian pada pasangan
anda bahwa kesiapan diri (moril maupun materil) adalah sesuatu yang harus
dipertimbangkan secara cermat dan matang. Jalinan asmara yang sudah berjalan 7
tahun lamanya bukanlah jaminan anda akan berakhir bahagia berdua di pelaminan.
Paksaan dan tekanan justru akan berimbas pada ketidakbahagiaan. Kritisi bahwa
anda berdualah yang menjalani pernikahan ini, maka keputusan terakhir hanya ada
di tangan anda dan pasangan.
Awamnya pernikahan menjadi rembukan banyak orang dalam
persiapannya. Tetapi ketika hal buruk terjadi pada lembaga pernikahan itu
nantinya, tak ada satu pihak pun yang mau turut ambil bagian untuk mengatasi.
Jadi belajarlah bertanggung jawab pada pernikahan anda sendiri, apapun nanti
hasil akhirnya. Jika 30 menjadi angka keramat anda, maka berikan argumentasi
terbaik dan masuk akal yang anda punya kepada pasangan. Harap garis bawahi;
argumentasi bukan berarti anda menghindar dari pernikahan itu sendiri.
Hiraukan pula kekhawatiran pasangan anda mengenai waktu yang
terus berjalan. Ada benarnya jika ia merasa resah dengan usia yang terus
bertambah. In some part, she’s the one who have to carry the baby in her tummy
for nine month and ten days!
Dan 40 bukanlah umur terbaik untuk melahirkan bayi secara
alamiah! Pernikahan adalah sebuah hasil musyawarah-mufakat antara anda dan
pasangan. Adalah hal yang bijak jika anda sedikit menekan ego khas pria dan
berkompromi demi kebaikan bersama.
The “Click” Moment
Ibarat film, dalam perjalanan cinta, cepat atau lambat
sebenarnya anda akan menemukan the click moment. Tak ada yang dapat
menggambarkan secara pasti bagaimana momen ini terjadi dan kapan si click ini
akan datang di depan mata. Just listen to your heart. Sebagai mahluk dengan
kadar sensitifitas di bawah nol derajat, anda harus mawas diri dengan perasaan
yang dimiliki.
Jika anda sudah siap secara mental maupun material, dan
telah menemukan sosok wanita yang mau menerima anda apa adanya—termasuk
kenyataan ciuman pertama anda adalah dengan mantan pacar ketiganya— then my
friend… you already have your click moment!
Sesederhana itu memang. Tak perlu menunggu angka 30 jika
ternyata anda telah merasa siap jauh-jauh hari sebelumnya. Kedewasaan bukanlah
melulu diukur dengan usia, tetapi juga sikap anda dalam menghadapi persoalan
hidup, termasuk kesiapan memimpin sebuah institusi bernama pernikahan.
Secara sadar, anda juga harus tahu, semakin lama anda
menunggu maka semakin lama pula anda mendapatkan kebahagiaan yang dicari selama
ini.
Life is all about choice
Klise mungkin, tapi memang benar adanya. Latihlah kesadaran
diri anda untuk menggapai kebahagiaan itu. Jangan merasa bangga dengan
kepasifan yang dimiliki. Ini tahun 2007 bung! Anda tak pernah tahu, terlalu
lama menunggu bisa membuat pacar anda membeli sepasang cincin tunangan dan
melamar anda malam ini juga! Mereka bisa jadi agresif sekali lho…